“Belum datang?” bertanya Ical, dari depan pintu.
“Belum,” jawabku singkat.
“Kita bakal bermalam kembali di sini, kalau hujan ini menjadi alasan mereka untuk tidak datang,” nada Kak Ono yang udah berada di samping meja di depanku sambil meletakan secerek teko berisi kopi panas yang ia buat.
“Semoga saja tidak,” sahutku penuh harap.
Gerimis sesungguhnya belum menunjukan gejala bahwa langit bakal jadi kering sebelum saat fajar. Jalanan jadi sendiri, sedang angin utara berkelanjutan membawa rindu yang lembab.
Dari seluruh yang selayaknya pulang Aku, kak Ono dan Ical-lah yang masih tersisa, kurangnya kendaraan sebabkan kami kudu menunggu jemputan kedua. Namun sampai terhadap selagi larut, kendaraan yang dinanti belum terhitung menunjukan dirinya namun kantuk jadi datang. Kesunyian bersama dengan cepat menghampiri kami bertiga, binatang malam pun malu-malu untuk bersuara, hanya bunyi rintik yang bertalu bersama dengan impuls dari atap dan ranting pohon. Sedang tanganku bergerak menuang segelas kopi dari teko tua berwarna keemasan sebagai kawan melawan rasa kantuk.
Baca juga: https://www.pantiwaluyohospital.com/
Teras rumah ini memadai rindang untuk merawat kami dari ramainya serpihan hujan. Di bawah rindang ini terhitung terdapat empat buah kursi yang terbuat dari anyaman rotan yang udah memadai tua, lilitan rotan tidak tebal bersama dengan rapi melingkar di tangan kursi sampai di ujungnya, seakan tersedia yang ia tuju di sana. Sedang anggota sandaran kursi terdapat anyaman bersama dengan bentuk motif faktor empat beda sisi. Saat itu pula satu senyum perlahan jadi tercipta.
“Anyaman lilitan ini udah layaknya rindu,” kataku, 1/2 bergumam, sambil meraba tangan kursi yang kupakai duduk.
“Kenapa?” bertanya Ical kepadaku.
“Tidak tersedia rindu yang tak kuat, ia adalah rasa yang jujur kuat layaknya anyaman ini,” sahutku mengatakan gumamanku.
“Setuju, namun bukan karena sama kuatnya, namun sama mahalnya, rindu mahal nggak?” malah kak Ono bersama dengan pertanyaan singkatnya.